Jumat, 13 Februari 2009

Kala Hujan di Jogja


Sabtu ini udara terasa begitu dingin. Awan mendung menyelimuti kota Jogja. Jalanan masih sepi. Mungkin orang-orang masih enggan bercengkerama dengan dinginnya kabut dan rintik-rintik hujan. Atau mungkin mereka masih merasa nyaman bergelut bersama guling diantara hangatnya lipatan-lipatan selimut.

Sudah sehari semalam aku mengunjungi kota ini, mencari sesuatu yang sempat hilang dari hatiku tiga bulan yang lalu, tapi tak juga kutemukan. Aku berjalan menyusuri jalanan menuju ke arah terminal bus antar kota. Sejenak kupandangi sekelilingku. Tidak ada yang berbeda. Hanya kali ini aku harus meninggalkan Jogja tanpa diantar oleh siapapun, melainkan aku harus pergi sendiri.

Aku segera naik ke dalam bus jurusan Jogja-Surabaya. Aku ambil posisi tempat duduk paling depan. Ku rebahkan tubuhku di sandaran kursi. Sayup-sayup terdengar alunan suara merdu Glenn Fredly terdengar memecah kebisuan penumpang yang tenggelam dalam dinginnya udara karena hujan. Januari. Lagu lama yang cukup menyentuh hati itu dibawakan begitu apik, hingga mampu membawa angganku melayang cukup jauh. Mataku terpejam. Pikiranku melayang akan kenangan bersamamu di sudut kota ini.

"Kamu mau ngomong masalah apa? Cepatlah bicara, aku harus segera kembali ke kampus. hari ini aku ada kuliah." Katamu tiga bulan yang lalu mengawali pertemuan kita yang sempat menjadi bisu.


Aku masih terdiam. Tertunduk lesu, tidak tahu harus berbicara apa. Aku capai. Aku baru saja datang dari luar kota. Tidakkah kamu ingin mengelusku atau meminjamkan sejenak pundakmu, agar aku bisa melepaskan penat? Aku kangen pada kebersamaan yang telah kita jalani selama tiga tahun lebih.

"Kenapa diam? Ayolah jangan buang-buang waktu", lanjutmu.

Sejenak ku tatap wajahmu. Tak ada lagi senyum. Hanya warna merah membakar wajahmu seakan kamu begitu tidak berkenan dengan kehadiranku di tempat ini. Aku tersenyum.

"Apa kabar? Bagaimana ujianmu hari ini?", kataku berusaha mendinginkan suasana.

"Ya belum taulah. Kan ujiannya baru saja dilaksanakan tadi, mana aku tahu ujianku berhasil atau nggak", jawabmu begitu ketus.

Miris. Ada rasa sakit terasa begitu menyayat hatiku. Kamu telah berubah. Kamu bukan orang yang pernah ku kenal beberapa tahun yang lalu, yang tidak pernah berani membentakku apalagi membuatku menangis. Hilang kata-kata penuh kelembutan yang selama ini selalu kamu tebar menghias indahnya hari-hariku. Dulu kamu selalu tersenyum, meskipun aku selalu marah-marah setiap kali apa yang kamu lakukan tak berkenan di hatiku.

"Kamu masih marah sama aku?" ucapku mencari kepastian.

"Aku nggak marah. Bukannya kamu yang marah dari kemarin?", jawabmu.

"Kita harus bicarakan hubungan kita. Aku nggak mau seperti ini. Sakit." Kataku sambil menahan rasa yang begitu mencekik dikerongkonganku.

"Apalagi yang harus dibicarakan?" tanyamu sambil memandangku.

"Kamu masih sayang kan sama aku?", tanyaku lirih.

"Sudahlah…." Jawabmu singkat.

"Kenapa?", kejarku.

"Kamu nggak ngerti, hatiku sudah sakit banget. Aku capai, aku pengin suasana lain", katamu dengan terus memandang langit-langit ruangan yang terasa tak menarik bagiku.

Aku terdiam sejenak. Kurasakan rasa sakit yang amat sangat menjalar di seluruh pembuluh darahku. Nafas ini seperti tersendat. Aku yakin, kamupun merasakan rasa yang amat sangat sakit seperti ini. Karena aku percaya bukan hanya aku yang terluka.

"Kenapa? Apa aku begitu bersalah hingga kamu tak ingin memperbaiki semua ini lagi?", ucapku lirih.

"Aku capai kamu selalu marah, kamu selalu nggak percaya sama aku", katamu dengan lirih pula.

"Bagaimana aku bisa percaya? Kamu selalu banyak alasan setiap kali aku ingin bertemu denganmu. Kamu bilang, kamu nggak boleh membawa cewek ke kos kamu. Tapi buktinya kemarin nggak apa-apa kan waktu kamu membawaku ke sana? Kamu bilang, kamu diawasi oleh tante kamu disini. Kenapa kamu harus takut? Bukankah orangtuamu sudah menyetujui hubungan kita? Kenapa pula kamu selalu beralasan setiap kali aku ingin kamu datang menemuiku? Sebegitu sibukkah kamu dengan tugas kuliahmu, sampai kamu nggak pernah punya waktu untukku? Kamu pikir aku beda denganmu? Nggak. Aku juga kuliah, aku juga punya tugas sepertimu. Aku nggak minta kamu setiap hari untukku, bukan berarti pula sampai beberapa bulan kamu boleh nggak menemuiku seperti ini." Nada protesku begitu panjang. Seakan pertanyaan yang sekian waktu terpendam dalam batinku meluap menenggelamkan suasana yang begitu panas.

"Sudahlah, nggak ada lagi yang perlu dijelaskan. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin berkonsentrasi pada kuliahku. Aku ingin sendiri saat ini, tidak ingin terganggu dengan apapun", katamu seakan memupus harapan yang sudah ku bawa berpuluh-puluh kilometer jauhnya.

"Lalu bagaimana dengan hubungan kita? Tiga tahun lebih kita jalani semua ini. Banyak hal sanggup kita hadapi, kenapa kali ini tidak?" Masih saja aku mencari kepastian diantara sesuatu yang sudah terasa begitu pasti.

"Kamu tidak pernah tahu seperti apa perasaanku selama ini. Sudahlah kamu harus pulang, sebentar lagi sore. Nanti kamu kemalaman sampai di rumah. Akupun harus segera kembali ke kampus, aku ada praktek hari ini." Ucapmu seakan ingin mengakhiri pembicaraan juga pertemuan kita.

Aku terdiam. Ku tatap wajahmu dalam-dalam. Aku berharap bisa menemukan jawab akan pertanyaanku selama ini, mengapa kamu ingin mengakhiri semuanya? Akan tetapi tidak secuilpun jawaban ku temukan di sana, seakan aku tak lagi mengenalmu. Kamu benar-benar berbeda. Bukan teman SMAku yang jail. Bukan pacarku yang selalu penuh kejutan. Tapi kamu seperti tenggelam. Tenggelam oleh dirimu yang baru saja terlahir kembali.

"Hei, sudahlah jangan menagis. Masih ada orang yang lebih sempurna yang mampu membahagiakanmu," katamu sambil mengusap air mata yang tak ku sadari telah membasahi kedua pipiku.

"Aku sayang sama kamu, tapi kali ini aku hanya bisa menyayangimu sebagai teman dan adik saja" lanjutmu.

Aku masih saja membisu. Tiba-tiba kamu mencium keningku, masih terasa seperti hari-hari kemarin. Senyumpun mulai terlihat dibibirmu yang sejak tadi terasa begitu kaku. Ada rasa aneh tiba-tiba menjalar di seluruh pembuluh darahku. Aku seperti menemukanmu kembali. Kali ini aku kembali percaya bahwa kamu nggak pernah pergi dari dalam hatiku. Karena apa? Karena senyum itu masih terasa begitu manis dimataku.

"Hahahaha…." Tiba-tiba saja tawa itu begitu lepas keluar dari kedua bibir kita. Aneh. Aku tidak mengerti kenapa tawa itu bisa mengalir begitu lancar, kemana rasa sakit yang tadi terasa begitu mendera hati kita?

"Ayo ku antar kamu menunggu bus." Ucapmu menghentikan tawa kita.

Kamu bergegas mengantarku ke terminal bus antar kota. Tidak banyak yang kita bicarakan sepanjang jalan. Kita tenggelam dalam kebisuan dan fikiran masing-masing.

"Itu bus yang biasanya kamu naiki. Masuklah, sebelum busnya penuh dengan penumpang", katamu setelah sampai di terminal bus.

"Nanti saja kalau busnya sudah mau jalan. Lagian tidak mungkin busnya penuh. Kalau sudah sore begini bus Jogja-Surabaya biasanya sepi." Kataku beralasan, padahal sebenarnya aku hanya tidak ingin berpisah denganmu.

"Ayolah, Aku harus segera kembali ke kampus. Setengah jam lagi aku ada praktek. Aku tidak boleh terlambat", ucapmu memohon kepadaku.

"Tapi aku masih ingin bersamamu", kataku lirih.

"Kamu nggak usah manja-manja lagi. Ingat, aku bukan cowokmu lagi. Kamu harus pulang sekarang!!!" Katamu dengan suara tinggi seakan begitu emosi dengan sikapku yang belum juga berubah.

Aku kaget, baru kali ini aku mendengar kamu bisa membentakku. Mataku mulai berkaca-kaca. Tawa yang baru saja lepas dari bibir kita seakan telah kembali berlari menjauh. Benarkah aku sudah kehilanganmu?

"Ya sudah, pulanglah. Nanti kamu terlambat kuliah," kataku sambil berpaling berusaha menyembunyikan air mata yang tak lagi bisa ku bendung.

"Kamu masuklah dulu ke dalam bus. Aku akan disini menunggu busnya sampai berjalan. Kamu harus pulang," katamu memohon kepadaku.

"Aku pasti pulang, kamu nggak perlu khawatir." Aku berusaha meyakinkanmu bahwa aku tidak akan apa-apa tanpamu.

"Kamu jangan keras kepala. Ayo naik bus! Jangan buat aku menjadi marah lagi sama kamu!" Kali ini suaramu begitu keras.

Ku tatap sejenak wajahmu. Rona merah itu kembali menyala membakar wajahmu. Aku berlari meninggalkanmu menuju arah bus dengan membawa segenap rasa kecewa yang tak pernah bisa kulukiskan. Sesampainya dipintu bus aku membalikkan badanku. Ku lihat kamu bejalan sedikit tergesa ke arahku. Aku masih terdiam. Menahan sakit yang teamat sangat menganjal di setiap persendianku.

Perlahan bus mulai berjalan meninggalkan pelataran parkir terminal. Aku masih memandangimu dari kaca, melihatmu yang terus berjalan mengikuti arah bus. Kali ini benar-benar ada yang hilang. Jarak itu terasa semakin menjauh, dan tiba-tiba tubuhmu menghilang. Aku berusaha mencarimu di setiap sudut kota yang mulai gelap oleh mendung. Rupanya matahari sudah enggan membantuku menemukanmu. Aku terduduk lemas di atas kursi dan mulai menyadari bahwa semua memang sudah berakhir.

"Mbak, mbak …", ada suara terdengar mengagetkan di sampingku.

Aku menoleh. Ada seorang kondektur berdiri disampingku membawa segelas air mineral. Aku tersenyum, sambil ku usap air mata yang tak kusadari telah mengalir membasahi kedua pipiku. Aku baru tersadar, kalau aku baru saja teringat kejadian memilukan tiga bulan yang lalu. Cepat-cepat ku ulurkan selembar uang puluhan ribu ke arahnya untuk membayar karcis dan menerima minuman yang diberikannya. Diapun menerimanya sambil tersenyum.

"Dari mana atau mau kemana Mbak?", tanyanya berusaha memecah kepiluanku.

"Mau pulang Pak." Jawabku sambil terus berusaha mengembangkan senyum.

"Ooo…. Habis bertemu dengan pacarnya ya Mbak? Perpisahan itu biasa Mbak, tidak perlu ditangisi. Kan besok masih bisa bertemu lagi", katanya berusaha menebak hatiku. Mungkin ia memperhatikan aku yang tidak sadar sudah menagis dari tadi.

"Ah, nggak Pak. Lagunya Glenn dalam banget. Nggak sadar saya terhanyut dalam lantunan suaranya", aku berusaha mengelak.

Ia hanya tersenyum. Kemudian berlalu meninggalkanku. Aku menghela nafas panjang-panjang. Berharap mampu mengubur kenangan buruk itu dan mengumpulkan kembali sisa-sisa semangatku yang sempat menghilang beberapa waktu.

Selamat tinggal Jogja. Aku titipkan separuh hatiku disini. Semoga saja kamu bisa menjaganya dan tidak akan membuatnya kembali tersayat. Aku tidak tahu kapan lagi aku akan menginjakkan kakiku disini. Mungkin besok kalau aku sudah bisa membalut luka ini, atau mungkin aku tidak akan pernah mengunjungimu lagi.

3 komentar:

  1. Mbak..critanya romantis banget
    Hmm jogja selalu menjadi inspirasi..

    BalasHapus
  2. Ini kisah nyatanya Yuni-kah?
    Aku membacanya sampai terenyuh

    BalasHapus